1.1. Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata agama berasal
dari bahasa Sanskerta yang berarti tradisi.
Manusia juga sebagai makhluk
beragama, yaitu makhluk yang mempunyai tingkat kepercayaan terhadap sesuatu
yang diyakini dengan sepenuh hati dan diwujudkan dalam setiap kegiatan
hidupnya. Dengan agama yang dianutnya, maka manusia dapat melakukan berbagai
kegiatan hidup.
Sebagai makhluk beragama, manusia
menyadari bahwa hidup dan kehidupan diciptakan Tuhan agar kita saling
berinteraksi dengan makhluk lainnya. Hal ini merupakan wujud untuk menjaga
kelestarian hidup dan kehidupan. Interksi antar makhluk ini merupakan bukti
bahwa kita bukanlah makhuk individual.
Pengertian Kerukunan Antar Umat
Beragama. Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan masyarakatnya
untuk hidup rukun. Sebab kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam
memelihara persatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan
diantara berbagai suku, Agama, Ras dan antar Golongan bangsa Indonesia akan
mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan.
Kerukunan dapat diartikan sebagai
kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram,
sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong
sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.
Agama secara umum merupakan suatu
kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat menjadi norma dan nilai
yang diyakini dan dipercaya. Agama diakui sebagai seperangkat aturan yang
mengatur keberadaan manusia di dunia.
1.2. Agama Islam Merupakan Rahmat Bagi Seluruh Alam
A.
Makna
Agama Islam
Kata islam berarti damai, selamat,
sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan
bahwa agama islam adalah agama yang mengandung ajaran yang menciptakan
kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan kehidupan umat manusia pada khususnya,
dan semua mahluk Allah pada umumnya.rahmat adalah kasih saying sesama
pribadi,keluarga, masyarakat, dan sesama makhluk.rambu-rambu kasih sayang itu
telah diatur oleh Alqu’ran dan sunnah Nabi Muhammad saw.
B.
Kerahmatan
Islam Bagi Seluruh Alam
Salah satu bentuk kerahmatan Allah
pada ajaran islam adalah :
Islam menghargai dan menghormati
manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim maupun non muslim.
Islam memberikan kebebasan pada
manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh ALLAH secara bertanggung
jawab.menurut ajaran agama islam, manusia diberikan amanat oleh Allah untuk
menjadi khalifah –Nya dibumi.
Diantara misi-Nya adalah menciptakan
kemaslahatan bagi sesama makhluk Allah. Artinya ,setiap perbuatan yang
dilakukan manusia harus memberikan kebaikan dan tidak boleh merugikan dan
menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan Allah. Itulah wujud rahmat
Allah dari Agama Islam sebagaimana dinyatakan oleh Allah pada surah
Al-Anbiya’ ayat 107 :
Artinya : Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk ( menjadi ) rahmat bagi semesta alam.
2.3. Kebersamaan Umat Beragama Dalam Kehidupan Sosial.
A. Pandangan Agama Islam Terhadap Umat Non
Islam
Dari segi akidah, setiap orang yang
tidak mau menerima islam sebagi agamanya disebut kafir atau non islam. Mereka
yang terdiri dari orang-orang musrik yang menyembah berhala di sebut orang
watsani. Orang kafir yang mengganggu, menyakiti dan memusuhi orang Islam di
sebut kafir harbi, dan orang kafir yang hidup rukun dengan orang Islam disebut
kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang kafir yang memerangi orang Islam dan
boleh diperangi oleh orang Islam. Kafir dzimmi adalah orang kafir yang mengikat
perjanjian atau yang menjadi tanggungan orang Islam untuk menjaga keselamatan
atau keamanannya.
B.
Tanggung
Jawab Sosial Umat Islam
Bentuk tanggung jawab sosial ummat
islam meliputi berbagai aspek kehidupan di antaranya adalah :
1. Menjalin silaturahmi dengan
tetangga,
2. Memberi bantuan kepada masyarakat
bila ada yang memerlukan bantuan,
C. Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia sebagai makhluk sosial tidak
pernah dapat hidup sendirian, ia membutuhkan hubungan dengan orang lain. Dalam
masyarakat pluralis seperti diinsonesia hubungan antar kelompok masyarakat yang
berbeda adat maupun agama tidak bisa dihindarkan. Oleh sebab itu agama Islam
yang pluralis sangat penting sebagai landasan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Seperti sayyid sabiq menulis :
“ Toleransi dan lapang dada
merupakan cirri khas masyarakat Islam. Masing - masing individu tidak ada yang
merasa tinggi diri, sombong, congkak, dan seterusnya. Kesombongan,
kecongkangan, egois, tinggi hati, merupakan sifat – sifat yang cenderung pada
perbuatan syaithan, sebab sifat – sifat itu mengakibatkan tumbuhnya perpecahan
dalam masyarakat dan permusuhan sesame manusia”.
D. Hubungan
antar umat beragama
Dalam masyarakat hubungan natat
pemeluk agama yang berbeda beda tidak bisa dihindarkan dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, maupun budaya. Bagi umat islam hubungan ini tidak menjadi
halangan, Sepanjang dalam kaitan sosial kemanusiaan dan muamalah. Bahkan dalam
berhubungan dengan mereka umat Islam dituntut untuk menampilkan perilaku yang
baik, sehingga dapat menarik mereka untuk mengetahui lebih banyak tentang
ajaran agama Islam yang Rahmatan lil’alamin itu.
Didalam hubungan persaudaraan /
ukhuwah umat antar beragama merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian
penting dalam Islam. Ukhuwah pada mulanya berarti “ persamaan dan keserasian
dalam hak “.
Ukhuwah islamiyah istilah ini perlu
di dudukan maknanya. Pembahsan ukhuwah adalah tidak keracunan,sedangkan
Islamiyah adalah kedudukan. Ukhuwah islamiyah dapat dibagi menjadi 4 macam “
1.
Ukhuwah ‘ubdiyyah atau saudara
kesemakhlukan dan kesetundukan kepala Allah.
2.
Ukhuwah insaniyyah ( basyariyyah )
dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara,karena mereka semua berasalh
dari seorang ayah dan ibu yang sama y, yaitu Adam dan Hawa.
3.
Ukhuwah wathaniyyah wa an-nasab
yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
4.
Ukhuwah fi din al-islam yaitu
persaudaraan antar sesame muslim.
Sebagaiman yang disebutkan dalam
Alqur’an.
قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya:
Katakanlah: Hai orang-orang kafir,
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Esensi dari persaudaraan terletak
pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang
akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan
persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ” Seorang mukmin dengan mukmin yang
lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh
tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan
kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal
dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan
aqidah.
Persatuan dan kesatuan sebagai
implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran
Islam.
Salah satu masalah yang di hadapi
umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga
kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan
kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap
nilai-nilai Islam.
Persatuan di kalangan muslim
tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan
golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya
diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu
fenomena. Idealnya intern umat yang seagama memang harus rukun, namun fakta
yang terjadi di masyarakat justru ada saja hal-hal yang menjadi kendala
terwujudnya kerukunan yang dilandasi jiwa ukhuwah (persaudaraan).
Di dalam kalangan umat Islam
misalnya, sering terjadi sedikit permasalahan yang berakar dan berawal adanya
perbedaan pemahaman dan pengalaman terhadap suatu kaidah agama. Sebenarnya
perbedaan pemahaman dan pengalaman adalah suatu hal yang wajar dan manusiawi,
yang penting perbedaan-perbedaan tersebut jangan sampai mengarah ke rusaknya
“ukhuwah islamiyah”.
Allah SWT memberi petunjuk dengan
firman Nya di QS. Ali Imron (3):103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...............”.
Begitu juga dalam hadist Rasulullah
SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mu’min dalam saling mencintai, saling
berbelas kasih dan saling tenggang rasa, mereka itu laksana satu tubuh, apabila
salah satu anggotanya terasa sakit, maka seluruh anggota badannya ikut
merasakan tidak dapat tidur dan merasakan demam panas.” HR Bukhori
Kerangka pluralitas dalam pandangan
islam dipahami sebagai ayat ( tanda kekuasaan ) dari ayat Allah yang tidak
tergantikan. Ayat –ayat tersebut berdiri di atas kekuasaan Allah untuk
kemaslahatan dan kemanusiaan.dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surah
Ar-Rum ayat 22 :
وَمِنۡ
ءَايَـٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفُ أَلۡسِنَتِڪُمۡ
وَأَلۡوَٲنِكُمۡۚ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّلۡعَـٰلِمِينَ (٢٢)
Artinya : Dan tanda-tanda-Nya
adalah penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan bahasa dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah benar -benar terdapat tanda – tanda
bagi orang yang mengetahui.
E.
Manfaat Kerukunan Antar Umat
Beragama
Umat Beragama Diharapkan Perkuat
Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan
memberikan stabilitas dan kemajuan Negara.
Menteri Agama Muhammad Maftuh
Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama
dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa.
"Sebab jika agama dapat
dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan sumbangan bagi
stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam Pertemuan Besar Umat
Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu.
Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh
agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu Maftuh
menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah mengalami
banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa persoalan, baik
yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini masih sering
muncul.
Menurut dia, kondisi yang demikian
menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat imun melainkan terkait
dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. "Karena itu upaya
memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, tidak
boleh berhenti," katanya.
Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan,
tokoh dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara
jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna
mengatasi berbagai masalah sosial termasuk kemiskinan dan kebodohan.
Ia juga mengutip perspektif
pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah
yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya
insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu
dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama,"
Mengelola kemajemukan Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang
majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa
jika tidak dikelola secara baik dan benar.
"Kemajemukan adalah realita
yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi
pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar," katanya. Ia
menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan
dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di
masing-masing kelompok masyarakat.
"Karena mungkin masalah yang
selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena tidak sampainya
informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan
informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang
mengarah pada terbentuknya penilaian negatif,"
Senada dengan Ma'ruf, Ketua
Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM. Cap mengatakan dialog
berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara untuk membangun
persaudaraan antar- umat beragama.
Menurut dia, tema dialog antar-umat
beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah theologis, ritus dan cara
peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah kemanusiaan.
"Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas, etika dan
nilai spiritual,"
Ia juga menambahkan, supaya efektif
dialog antar-umat beragama mesti "sepi" dari latar belakang agama
yang eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab untuk itu
butuh relasi harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan.
Yang harus dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak
untuk mendominasi dan eksklusif,"
Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi
Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda agama-agama ke depan sebaiknya
difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar yang selama ini menjadi pangkal
masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa saling percaya,
kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi masyarakat. "Energi
dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal mulia
itu," demikian Budi S Tanuwibowo.
2.4. Kendala-Kendala
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah
satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia,
adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana
diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan
tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan
teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan
mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam
tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga
jarak satu sama lain.
Masing-masing agama mengakui
kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak
dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang
menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan
antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di
antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah
dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin
berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan
politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan
memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan
“bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di
negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di
negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi
darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak
mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita
seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama
secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia
telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan
sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang
menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama
seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan
menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan
orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di
sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini
tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama
tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan.
Tentu saja, dalam agama Kristen juga
ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat
bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk
meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang
akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi.
Dengan saling mengandalkan
pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap
fanatisme yang berlebihan.Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga
faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap
maupun berkepanjangan.
2.5. Solusi
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang
menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi
pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu
sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik
yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup
bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang
disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim
disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari
“sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan
dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di
luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian
dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai
(peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan
Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa
datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi
dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam
skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dengan begitu, hampir tidak ada lagi
suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari
lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat
diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang
mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah
berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira,
Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama.
Dalam pandangan saya, sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan
politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak
mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature
utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari
pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang
secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan terjadi juga pertukaran yang
semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog
antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada
tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut.
Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian
dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan
menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling
menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya,
kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong
masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap
optimis.
Pertama, pada beberapa dekade
terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin
merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar
negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya,
di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya.
Meskipun baru seumur jagung, hal itu
bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan
yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing
agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan
antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun
insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai
problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Kesadaran semacam ini seharusnya
tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut
agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara
pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan
bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi
kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya
semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak
lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun
kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid
dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa
membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian
bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita
bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama
sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba
antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan
dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para
pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan
pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada
sebagai lawan.
No comments:
Post a Comment